Senin, 06 April 2015

SARANA BERPIKIR ILMIAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berfikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukanya penelahaan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan saran berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tidak dapat dilakukan.
Sara ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Karena itu, sebelum mempelajari saran-sarana berfikir ilmiah ini setidaknya kita telah menguasai langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut. Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada hakikat yang sebenarnya, sebab sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan dengan kegiatan ilmiah secara menyeluruh.
Dengan demikian penguasaan sarana berpikir ilmiah sangat penting bagi ilmuan agar dapat melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik. Sarana berpikir ilmiah membantu manusia menggunakan akalnya untuk berpikir dengan benar dan menemukan ilmu yang benar, tanpa menguasai sarana berpikir ilmiah, kegiatan ilmiah yang baik tak dapat dilakukan.
B.     Rumusan Masalah
Maka dalam makalah ini akan membahas tentang :
1.      Apakah sarana berpikir ilmiah?
2.      Sarana apa saja yang terdapat dalam sarana berpikir ilmiah?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk memahami sarana berpikir ilmiah?
2.      Untuk mengetahui sarana-sarana yang terdapatt dalam sarana berpikir ilmia?

BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Sarana Berpikir Ilmiah
Kegiatan berfikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berfikir ilmiah merupakan berfikir dengan langkah – langkah metode ilmiah. Kesemua langkah – langkah berfikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat / sarana yang baik sehingga diharapkan hasil dari berfikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang baik. Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis adalah masuk akal, dan  empiris adalah dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan, selain itu  menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, dan mengembangkan. Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan
Manusia sering disebut homo faber yaitu mahluk yang membuat alat dan kemampuan membuat alat yang diinginkan dimungkinkan oleh pengetahuan. Berkembangnya pengetahuan tersebut juga memerlukan alat alat (Jujun S. Suriasumantri). Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengehahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari
Sarana berpikir ilmiah dalam proses pendidikan, merupakan bidang studi tersendiri. Artinya kita mempelajari sarana berpikir ilmiah ini seperti kita mempelajara berbagai cabang ilmu dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal yaitu :
1.      Sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti diketahuai salah satu karakteristik dari ilmu umpamanya adalah mengguanakan berfikir induktif dan dedukti dalam mendapatkan pengetahuan. Sarana berfikir ilmiah tidak memperguanakan cara ini dalam mendapatkan pengetahuanya. Secara lebih tuntas dapat dikatakan bahwa sarana berpikir ilmiah mempunyai metoode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuanya dengan metode ilmiah.
2.      Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari. Dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuanya berdasarkan metode ilmiah. Atau secara sederhana, sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Secara jelas mengapa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuanya, sebab fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah, dan bukan merupakan ilmu itu sendiri.
Berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang berdasarkan kehidupan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Berfikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika, dan statistik. Pada hakikatnya sarana berfikir  ilmiah  merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu.
1.2  Sarana-sarana Berpikir Ilmiah
a.      Bahasa
Bahasa memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup dan kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatikan bahasa dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa,  seperti bernafas san berjalan. Padahal bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterangkan bahwa bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.  Jadi bahasa menekankan pada bunyi, lambang, sistematika, komunikasi.
Hal yang diutarakan oleh Ernest Cassirer, sebagaimana yang di kutip oleh Jujujn S. Suriasumantri dalam bukunya bahwa, keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuan berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut manusia sebagai Animal Symbolicum yaitu mahluk yang mempergunakan simbol. Secara generik istilah ini mempunyai cakupan yang lebih luas dari istilah homo sapiens, sebab dalam kegiatan berpikir manusia mempergunakan simbol.
Bahasa sebagai sarana komunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada komunikasi, dan tanpa komunikasi manusia tidak dapat bersosialisasi. Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berpikir sistematis dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berpikir sistematis dan teratur. Dalam kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berpikir seseorang dan tiada batas dunia baginya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wittgenstein yang menyatakan “batas bahasaku adalah batas duniaku”. Dan pernyataan dari Bloch and Trager mengatakan bahwa “bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi”. Sedangkan dari Josep Broam mengatakan bahwa “bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain”.
Dan dari pernyataan Jujun S. Suriasumantri bahasa dapat dicirikan serangkaian bunyi, dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Komunikasi dengan mempergunakan bunyi ini dikatakan juga sebagai kominikasi verbal, dan manusia yang bermasyarakat dengan alat komunikasi bunyi, disebut juga sebagai masyarakat verbal.
1.       Fungsi Bahasa
Bahasa merupakan unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-nilai kehidupan kemasyarakatan. Oleh karena itu, kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebahasaan harus merupakan bagian yang  integral dari kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebudayaan. Perkembangan kebudayaan Indonesia ke arah peradaban modern sejalan dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan kesanggupan menyatakan isi pikiran secara eksplisit.
Para ahli filsafat bahasa dan psikolinguitik melihat fungsi bahasa  sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran,  perasaan, dan emosi. Sedangkan aliran sisiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat. Walaupun terdapat perbedaan tetapi pendapat ini saling melengkapi satu sama lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah :
  1. Koordinator kegiatan-kegiatan dalam masyarakat.
  2. Penetapan pemikiran dan pengungkapan.
  3. Penyampaian pikiran dan perasaan
  4. Penyenangan jiwa
  5. Pengurangan kegonjangan jiwa
Kneller mengemukakan tiga fungsi bahasa sebagaimana yang dikutip dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri yaitu simbolik, emotif, dan efektif. Fungsi simbolik dan emotif menonjol dalam komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi efektif menonjol dalam komunikasi estetik. Sedangkan Buhler  yang dikutip dalam bukunya Amsal Bahtiar membedakan fungsi bahasa kedalam bahasa ekspresif, bahasa konatif, dan bahasa representasional. Bahasa ekspresif yaitu bahasa yang terarah pada diri sendiri yakni sipembicara; bahasa konatif, yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara; dan bahasa representasional, yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan lainya, yaitu apa saja selain si pembicara atau lawan bicara.
Desmon Morris mengungkapkan 4 fungsi bahasa yaitu, (1) Information talking, pertukaran keterangan dan informasi, (1) mood talking, hal in sama dengan fungsi bahasa ekspresif yang dikemukakan oleh Buhler, (3) exploratory talking, sebagai ajaran untuk kepentingan ujaran, sebagaiman fungsi estetis, dan (4) grooming talking, tuturan yang sopan yang maksudnya kerukunan melalui percakapan, yakni menggunakan bahasa untuk mempelancar proses sosial dan menghindari pertentangan.
2.      Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Ilmiah
Untuk dapat berpikir ilmiah, seseorang selayaknya menguasai kriteria maupun langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah. Dengan menguasai hal tersebut tujuan yang akan digapai akan terwujud. Di samping menguasai langkah-langkah tentunya kegiatan ini dibantu oleh sarana berupa bahasa, matematika, statistika, dan logika.
Berbicara masalah sarana ilmiah,  ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu pertama, sara ilmiah itu merupakan ilmu dalam pengertian bahwa ia merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah, seperti menggunakan pola pikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. Kedua, tujuan mempelajarai sarana ilmiah adalah agar dapat melakukan penelaahan ilmiah secara baik.
Adapun ciri-ciri bahasa ilmiah yaitu:
  1. Informatif yang berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalah pahaman Informasi.
  2. Reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya.
  3. Intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya
  4. Antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif
Dengan demikian, jika hal tersebut dikaitkan dengan berpikir ilmiah, sara ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuan berdasarkan metode ilmiah. Sarana berpikir ini juga mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan. Ini sebabnya sarana ini adalah alat bantu proses metode ilmiah dan bukan merupakan ilmu itu sendiri.
3.      Bahasa Ilmiah dan Bahasa Agama
Telah diutarakan sebelumnya bahwa bahasa ilmiah adalah bahasa yang diguanakan dalam kegiatan ilmiah, berbeda dengan bahasa agama. Ada dua pengertian mendasar tentang bahasa agama yaitu :
a.       Bahasa agama adalah kalam ilahi yang terabadikan dalam kitab suci
b.      Bahasa agama merupakan ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial
Dari pernyataan diatas bahasa agama merupakan wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun sarjana ahli agama, meskipun tidak selalu menunjukan serta menggunakan ungkapan-ungkapankitab suci. Walaupun ada perbedaan antara kedua bahasa ini namun keduanya merupakan sarana unuk menyampaikan suatu dengan gaya bahasa yang khas.
Bahasa ilmiah dalam tulisan-tulisan ilmiah, terutama sejarah, selalu dituntut secara deskriptif sehimgga memungkinkan pembaca (orang lain) untuk ikut menafsirkan dan mengembangkan lebih jauh. Sedangkan bahasa agama selain menggunakan gaya deskriptif juga menggunakan gaya preskriptif, yakni struktur makna yang dikandung selalu bersifat imperatif dan persuasif dimana pengarang menghendaki si pembaca mengikuti pesan pengarang sebagaimana terfomulasikan dalam teks.
4.      Kekurangan Bahasa
Bahasa sebagai salah satu sarana berpikir ilmiah memegang peran yang penting mengingat bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam peranannya sebagai mahluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lain. Namun ada beberapa gejala yang dalam keadaan tertentu menjadi kekurangan bahasa sebagai sarana komunikasi. Kekurangan ini pada hakekatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multi fungsi yaknii sebaga sarana komunikasi emotif, efektif, dan simbolik. Dalam komunikasi ilmiah harus menggunakan ketiga fungsi tersebut.
Kekurangan yang kedua terletak pada arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Dan yang selanjutnya dalam kondisi tertentu bahasa bersifat majemuk (pluralistik). Hal ini terlihat dengan adanya kata yang memiliki lebih dari satu arti, misalnya “bisa” melambangkan dua konsep yang berbeda dalam kalimat “bisa ular itu bisa mematikan”. Kata bisa yang pertama mmenyimbolkan racun, sedangkan kata bisa yang kedua menyimbolkan mampu atau dapat.
Kelemahan selanjutnya darri bahasa yaitu dalam kondisi tertentu bahasa bersifat berputar-putar(sirkular). Dalam menggunakan kata-kata terutama dalam pemberian devinisi dari suatu kata. Kata “data” misalnya, diartikan sebagai bahan yang diolah menjadi nformasi, dan kata informasi diartikan sebagai keterangan yang didapat dari data. Hal ini tentu dapat menimbulkan kebingungan atau ketidakjelasan. Beberapa kelemahan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah ini menjadi bahan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para filsafat modern. Kekacauan filsafat menurut Wittgetstein dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri mengatakan bahwa kebanyakan dari pernyataan dsn pertanyaan ahli filsafat timbul dari kegagalan mereka menguasai logika berbahasa.
c.       Matematika
Dalam abad ke-20 ini, seluruh kehidupan manusia sudah mempergunakan matematika, baik matematika ini sangat sederhana hanya untuk menghitung satu,dua, tiga, maupun yang sampai sangat rumit, misalnya penghitungan antariksa. Untuk melakuakan kegiatan ilmiah secara lebih baik diperlukan sarana berfikir salah satunya adalah Matematika. Sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelahaan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan secara berfikir ini ada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh.
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Dengan demikian, penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.
Di samping  sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat alat berpikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis alam menarik kesimpulan menurut suatu pola berpikir tertentu. Matematika menurut Wittgenstein adalah metode berpikir logis. Berdasarkan perkembanganya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisi yang lebih sempurna. Dalam perspektif ini lah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti disimpulkan oleh Bertrand Russell “matematka adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika. Lalu Imanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan sintetik a priori dimana eksistensi matematika tergantung kepada dunia pengalaman kita. Menurut Wittgenstein perhitungan matematika bukanlah suatu eksperimen, sebuah pernyataan matematika tidaklah mengekspresikan produk pikiran (tentang objek yang faktual). Selanjutnya Wittgenstein membuktikan bahwa 2x2=4 merupakan suatu proses deduktif.
Griffits dan hownson (1974) membagi sejara matematika menjadi empat tahap. Tahap yang pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya sperti Babylonia dan Mesopotamia. Waktu itu matematika telah dipergunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan dan usaha mengontrol alam seperti banjir. Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat.
Matematika dalam hubunganya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda, kata Fehr, yakni sebagai ratu dan sekaligus pelayanan ilmu. Di satu pihak, sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, sedangkan dilain pihak, sebagai pelayan matematika memberikan bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pertanyaan-pertanyaan dalam bentuk model matematik.
Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Sekitar 3500 tahun S. M bangga Mesir Kuno telah mempunyai simbol yang telah melambangkan angka-angka. Para pendeta mereka merupakan ahli matemtika yang pertama, yang melakukan pengukuran pasang surutnya sungai nil dan meramalkan timbulnya banjir, seperti apa yang sekarang kita lakukan diabad ke dua puluh di kota metro politan Jakarta. Matematika merupakan bahasa artifisial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Untuk itu maka diperlukan usaha tertentu untuk menguasai matematika dalam bentuk kegiatan belajar. Jurang antara mereka yang belajar dan mereka yang tidak (atau enggan) belajar ternyata makin lama makin lebar, matematika makin lama makinn bersifat abstrak dan esoterik yang makin jauh dari tangkapan orang awam, magis dan misterius seperti mantera-mantera pendeta mesir kuno.
1.      Matematika sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan. Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa verbal, kita berpaling kepada matematika. Dalam hal ini kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan emosional dari bahasa verbal.
Lambang-lambang dari matematika yang dibuat secara artifisial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusu untuk masalah yang kita kaji. Sebuah objek yang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa saja sesui dengan perjanjian kita. Matematika mempunyai kelebiahan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematikan mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dalam bahasa verbal, bila kita membandingkan dua objek yang berlainan, umpamanya gajah dan semut. Kalau kita ingin menelusuri lebih lanjut seberapa besar gajah dibandingkan dengan semut maka kita menngalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu. Kemudian jika sekiranya kita ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut, dengan bahasa verbal kita tidak dapat mengatakan apa-apa.
            Bahasa verbal hanya mampu mengatakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif. Sifat kuantitatif dari matematika meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Ilmu membrikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat.
2.      Matematika sebagai Sarana Berpikir Deduktif
Matematika merupakan ilmu deduktif. Nama ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat didalam ilmu-ilmu empirik, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi (penjabaran-penjabaran). Bagaimana orang dapat secara tepat mengetahui ciri-ciri deduksi, merupakan satu masalah pokok yang dihadapi oleh filsafat ilmu. Dewasa ini pendirian yang paling banyak dianut orang bahwa deduksi ialah penalaran yang sesuai dengan hukum-hukum serta aturan-aturan logika formal, dalam hal ini orang menganggap tidaklah mungkin titik tolak yang benar menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak benar.
Matematika merupakan pengetahuan dan sarana berpikir deduktif. Bahasa yang digunakan adalah bahasa artifisial, yakni bahasa buatan.  Keistimewaan bahasa in adalah terbebas dari aspek emotif dan efektif serta jelas kelihatan bentuk hubungannya. Matematika lebih mementingkan bentuk logisnya. Pernyataan-pernyataan mempunyai sifat yang jelas. Pola berpikir deduktif banyak digunakan baik dalam bidang ilmiah maupun bidang lain yang merupakan proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenaranya telah ditentukan. Misalnya kita tahu bahwa jumlah sudut dalam suatu segitiga adalah 180 derajat. Pengetahuan ini mungkin saja kita tahu dengan jalan mengukur sudut dalam suatu segitiga kemudian menjumlahkannya. Dipihak lain pengetahuan bisa didapatkan secara deduktif dengan menggunakan matematika. Seperti diketahui bahwa berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-presmis yang kebenaranya telah ditentukan. Untuk menghitung jumlah sudut dalam segitiga tersebut kita dapat mendasarkan pada presmis bahwa jumlah sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga adalah sama. Premis kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk suatu garis lurus adalah 180 derajat. Kedua premis ini kemudian kita terapkan dalam berpikir deduktif untuk menghitung jumlah sudut dalam sebuah segitiga.
Jadi dengan contoh seperti itu secara deduktif matematika menemuka pengetahuan yang baru didasarkan pada premis-premis tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyatan-pernyataan ilmiah yang telah ditentukan sebelumnya. Namun pengetahuan yang dapat secara deduktif ini sangat berguna. Dari beberapa permis yang telah kita ketahui kebenaranya dapat ditemukan pengetahuan-pengetahuan lain yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang menginginkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif.
d.      Statistika
Statistik diartikan sebagai keterangan-keterangan yang dibutuhkan oleh negara dan berguna bagi negara .
Secara etimologi, kata Statistik berasal dari kata “status” (latin) yang punya persamaan arti dengan “state” (bahasa inggris) dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Negara. Pada mulanya Statistik diartikan sebagai kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang tidak berwujud (data kualitatif), yang mempunyai arti penting dan kegunaan yang besar bagi suatu Negara. Perkembangannya, arti kata Statistik hanya dibatasi pada kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka (data kuantitatif) saja.
Secara terminologi, dewasa ini istilah Statistik terkandung berbagai macam pengertian :
1.      Statistik kadang diberi pengertian sebagai data Statistik yaitu kumpulan bahan keterangan berupa angka atau bilangan
2.      Kegiatan Statistik atau kegiatan perstatistikan atau kegiatan penstatistikan;
3.      Metode Statistik yaitu cara-cara tertentu yang perlu ditempuh dalam rangka mengumpulkan, menyusun atau mengatur, menyajikan menganalisis dan memberikan interpretasi terhadap sekumpulan bahan keterangan yang berupa angka itu dapat berbicara atau dapat memberikan pengertian makna tertentu.
4.      Ilmu statistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan memperkembangkan secara ilmiah tahap-tahap yang ada dalam kegiatan Statistik. Adapun metode dan prodesur yang perlu ditempuh atau dipergunakan dalam rangka :
a.       Pengumpulan data angka;
b.      Penyusunan atau pengaturan data angka;
c.       Penyajian atau penggambaran atau pelukisan data angka;
d.      Penganalisaan terhadap data angka;
e.       Penarikan kesimpulan (conclusion);
f.       Pembuatan perkiraan (estimation);
g.      Penyusunan ramalan (prediction) secara ilmiah.

Dalam kamus ilmiah popular, kata Statistik berarti table, grafik, data informasi, angka-angka, informasi. Sedangkan kata statistika berarti ilmu pengumpulan, analisis dan klarifikasi data, angka sebagai dasar untuk induksi. Jadi statistika merupakan sekumpulan metode untuk membuat keputusan yang bijaksana dalam keadaan yang tidak menentu.
Statistika banyak diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu-ilmu alam (misalnya astronomi dan biologi maupun ilmu-ilmu sosial (termasuk sosiologi dan psikologi), maupun di bidang bisnis, ekonomi, dan industri. Statistika juga digunakan dalam pemerintahan untuk berbagai macam tujuan; sensus penduduk merupakan salah satu prosedur yang paling dikenal. Aplikasi statistika lainnya yang sekarang popular adalah prosedur jajak pendapat atau polling (misalnya dilakukan sebelum pemilihan umum), serta jajak cepat (perhitungan cepat hasil pemilu) atau quick count. Di bidang komputasi, statistika dapat pula diterapkan dalam pengenalan pola maupun kecerdasan buatan.
Beberapa perkembangan ilmu statistik :
1. Braham Demoivre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error).
2.   Tahun 1757, Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut (continues distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang banyak.
3.  Pierre Simon de Lacplace (1749-1827) mengembangkan konsep demoire dan Simpson ini lebih lanjut, dan menemukan distribusi normal.
4.   Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal kemudian ditemukan oleh Francis Galton (1822-1911) dan Karl Pearson (1857-1936).
5.   Karl Friedrich Gauss (1777-1855) kemudian mengembangkan teknik kuadrat terkecil (least square) simpangan baku, galat baku untuk rata-rata (the standard error of mean)

Statistik dan cara berfikir induktif.
            Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua penyataan ilmiah adalah bersifat faktual, di mana konsekuensinya dapat diuji dengan baik dengan jalan mempergunakan panca indera, meupun dengan mempergunakan alat-alat yang membantu panca indera tersebut. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan pengetahuna lainnya. Pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipitesa yang diajukan. Sekiranya hipotesa itu didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima atau disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan maka hipotesa itu ditolak.
Pengujian mengharuskan untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya  jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata anak yang dimaksud itu merupakan suatu kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umum 10 tahun di tempat itu. Jadi dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Di pihak lain maka penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat khas dari pernyataan yang bersifat umum dengan mempergunakan deduksi.
            Penarikan kesimpulan tidak sama dan tidak boleh dicampur adukan, Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan, sedangkan logika induktif berpaling kepada statistik. Statistik merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Hubungan Antara Sarana Ilmiah Bahasa, Matematika, logika dan Statistika
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, agar dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperlukan sarana yang berupa bahasa, matematika, logika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain.
Ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu merupakan gabungan berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu penalaran ilmiah menyandarkan diri pada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Jadi keempat sarana ilmiah ini saling berhubungan erat satu sama lain

Peranan statistika dalam tahap-tahap Metode Keilmuan
Langkah-langkah yang lazim dipergunakan dalam kegiatan keilmuan yang dapat dirinci sebagai berikut;
a.    Observasi
Statistik dapat mengemukakan secara terperinci tentang analisis yang akan dipakai dalam observasi.

b.    Hipotesis
Untuk menerangkan fakta yang diobservasi, dugaan yang sudah ada dirumuskan dalam sebuah hipotesis. Dalam tahap kedua ini statistika membantu kita dalam mengklasifikasikan hasil observasi.
c.    Ramalan
Dari hipotesis dikembangkanlah deduksi. Jika teori yang dikemukakan memenuhi syarat deduksi akan menjadi pengetahuan baru. Fakta baru ini disebut ramalan.

d.   Pengujian kebenaran
Untuk menguji kebenaran ramalan, mulai dari tahapan-tahapan berulang seperti sebuah siklus.

e. Logika
Logika adalah sarana berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir.
Hukum-hukum pikiran beserta mekanismenya dapat digunakan secara sadar dalam mengontrol perjalanan pikiran yang sulit dan panjang itu.
1.      Aturan Cara Berpikir yang Benar
Kondisi adalah hal-hal yang harus ada supaya sesuatu dapat terwujud, dapat terlaksana. Untuk berpikir baik, yakni berpikir benar, logis-dialektis, juga dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu:
a. Mencintai kebenaran
Sikap ini sangat fundamental untuk berpikir yang baik, sebab sikap ini senantiasa menggerakkan si pemikir untuk mencari, mengusut, meningkatkan mutu penalarannya;  manggerakkan si pemikir untuk senantiasa mewaspadai “ruh-ruh” yang akan menyelewengkannya dari yang benar. Misalnya, menyederhanakan kenyataan, menyempitkan cakrawala/perspektif, berpikir terkotak-kotak. Cinta terhadap kebenaran diwujudkan dalam kerajinan (jauh dari kemalasan, jauh dari takut sulit, dan jauh dari kecerobohan) serta diwujudkan dengan kejujuran, yakni disposisiatau sikap kejiwaan(dan pikiran) yang selalu siap sedia menerima kebenaran meskipun berlawanan dengan prasangka dan keinginan/kecenderungan pribadi atau golongannya.



b. Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang Anda kerjakan
Kegiatan yang sedang dikerjakan adalah kegiatan berpikir. Seluruh aktivitas intelek kita adalah suatu usaha terus menerus mengejar kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya pengetahuan tentang kebenaran tetapi parsial sifatnya. Untuk mencapai kebenaran, kita harus bergerak melalui berbagai macam langkah dan kegiatan.

c.       Ketahuilah (dengan sadar) apa yang Anda katakan
Pikiran diungkapkan ke dalam kata-kata. Kecermatan pikiran diungkapkan ke dalam kecermatan kata-kata, karenanya kecermatan ungkapan pikiran ke dalam kata merupakan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Anda senantiasa perlu menguasai ungkapan pikiran kedalam kata tersebut. Waspadalah terhadap term-term ekuivokal (bentuk sama, tetapi arti berbeda), analogis (bentuk sama, arti sebagian sama sebagian berbeda). Ketahuilah pula perbedaan kecil arti (nuansa) dari hal-hal yang Anda katakan.

d.      Buatlah distingsi (pembedaan) dan pembagian (klasifikasi) yang semestinya
Jika ada dua hal yang tidak mempunyai bentuk yang sama, hal itu jelas berbeda.  Tetapi banyak kejadian dimana dua hal atau lebih mempunyai bentuk sama, namun tidak identik. Disinilah perlu dibuat suatu distingsi, suatu pembedaan. Karena realitas begitu luas, perlu diadakan pembagian ( klasifikasi). Peganglah suatu prinsip pembagian yang sama, jangan sampai Anda menjumlahkan bagian atau aspek realitas prinsip klasifikasi yang sama.

e.       Cintailah definisi yang tepat
Penggunaan bahasa sebagai ungkapan sesuatu kemungkinan tidak ditangkap sebagaimana yang akan diungkapkan atau yang dimaksudkan. Karenanya jangan segan membuat definisi. Definisi artinya pembatasan, yakni membuat jelas batas-batas sesuatu. Hindari uraian-uraian yang tidak jelas artinya.

f.       Ketahuilah (dengan sadar) mengapa Anda menyimpulkan begini atau begitu
Anda harus bisa dan biasa melihat asumsi-asumsi, implikasi-implikasi, dan konsekuensi-konsekuensi dari suatu penuturan (assertion), pernyataan, atau kesimpulan yang Anda buat. Jika bahan yang ada tidak cukup atau kurang cukup untuk menarik kesimpulan, hendaknya orang menahan diri untuk tidak membuat kesimpulan atau membuat pembatasan-pembatasan (membuat reserve) dalam kesimpulan.

g. Hindarilah kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, serta sangguplah mengenali jenis, macam, dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab kesalahan pemikiran (penalaran).
Dalam belajar logika Ilmiah (scientific) kita tidak hanya mau tahu hukum-hukum, prinsip-prinsip, bentuk-bentuk pikiran sekadar untuk tahu saja. kita perlu juga;
1)  Dalam praktik, menjadi cakap dan cekatan berpikir sesuai dengan hukum, prinsip, bentuk berpikir yang betul, tanpa mengabaikan dialektika, yakni proses perubahan keadaan. Logika ilmiah melengkapi dan mengantar kita untuk menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis, yakni berpikir secara menentukan karena menguasai ketentuan-ketentuan berpikir yang baik.
2) Selanjutnya sanggup mengenali jenis-jenis, macam-macam, nama-nama, sebab-sebab kesalahan pemikiran, dan sanggup menghindari, juga menjelaskan segala bentuk dan sebab kesalahan dengan semestinya.

















BAB III
PENUTUP
a.       Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat di simpulkan bahwa berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang berdasarkan kehidupan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Sedangkan berfikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat. Adapun salah satu pendapat dari para ahli mendefinisikan atau berpendapat bahwa berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis masuk akal, empiris dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan .
Agar dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika.  Di tijau dari pola pikirnya maka ilmu pengetahuan gabungan antara berpikir deduktif. Untuk itu, penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif jadi keempat sarana ilmiah ini salaing berhubungan erst satu sama lain.














DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Bakhtiar, Amsal. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Salam, Burhanuddin. 2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta: Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar